Kesenian Tari Bungko Asal Cirebon yang Mulai Dilupakan

Seni tradisi yang berasal dari pesisir utara Jawa, tepatnya di Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Cirebon, Jawa Barat, mulai tergerus oleh zaman. Kecamatan Kapetakan merupakan daerah pesisir yang berdekatan dengan laut dan termasuk daerah pinggiran. Perlu menempuh perjalanan sepanjang 26 kilometer dari kota Cirebon sebelum bisa masuk kecamatan ini. Akses jalan menuju ke Kapetakan dan desa Bungko sendiri jauh dari kata mulus, berdebu dan nyaris tidak terlihat pernah tersentuh aspal. Kondisi Desa Bungko Sebagai desa yang berada di kawasan pesisir utara, mayoritas penduduk desanya berprofesi sebagai nelayan. Pendapatan sehari-hari diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang melaut pada malam hari dan pulang saat subuh tiba. Perekonomian masyarakat setempat memang belumlah semuanya berada di kondisi mapan. Rumah penduduk setempat terbuat dari anyaman bambu tanpa cat dan tercium aroma amis khas daerah dekat pantai atau laut. Meski beberapa orang sudah memiliki rumah yang cukup besar dan dindingnya terbuat dari susunan batu bata yang di semen. Kondisi perekonomian para nelayan semakin mengenaskan karena terbentur dengan para tengkulak. Semua modal berlaut seperti jaring, perahu, dan sebagainya diperoleh dari hasil meminjam kepada tengkulak. Harapan untuk hidup lebih makmur pun terasa jauh sebab hutang tersebut sangat sulit mencapai kata lunas. Keinginan untuk mendapatkan harga ikan yang lumayan juga sangat sulit karena di pasar harga pun ditekan tengkulak. Salah satu nelayan yang menikmati semua hal yang berhubungan dengan jaring dan laut, Adina bin Lamiko (65). Berujar bahwa ia sudah puluhan tahun menjalani profesi sebagai nelayan dan juga sebagai penari Tari Angklung Bungko. Selain kesibukannya menebar jala dan memilah ikan yang layak dijual, ia pun menjalankan profesi sebagai penari tradisional. Adina memiliki sebuah angklung tua yang diperkirakan berumur berabad-abad. Sebab dipercaya oleh warga setempat angklung tersebut berasal dari KI Gede Bungko. Ki Gede Bungko merupakan Sesepuh di desa Bungko, yang dulunya beliau juga menjadi Panglima Perang Angkatan Laut Kesultanan Cirebon pada abad ke-15 silam. Angklung tua yang berusia ratusan tahun tersebut kini sudah tidak bisa dimainkan lagi sebagaimana mestinya. Sebab kondisinya sendiri sudah rapuh termakan oleh usia sehingga hanya bisa dilihat secara fisik saja. Warga masyarakat setempat meyakini bahwa angklung yang disimpan Adina merupakan angklung dengan kekuatan magis. Adina mengungkapkan bahwa dulunya ia memiliki empat buah angklung Bungko, namun satu per satu pun menghilang. Beberapa hilang karena termakan oleh usia sehingga rapuh dan rusak secara total tanpa bisa dilihat fisiknya lagi. Keluarga Adina mengatakan pula bahwa kepemilikan angklung magis tersebut hanya boleh disimpan mereka. Berbagai kisah yang mengandung nilai mistis pun beredar menyertai keberadaan angklung tua tersebut. Masa Depan Angklung Bungko Kesenian daerah memang beberapa mampu dilestarikan dengan mudah dan beberapa sulit bahkan nyaris tidak mungkin. Keberadaan generasi penerus yang mampu menari Tari Bungko sendiri sudah tidak ada. Adian sendiri merupakan penari Bungko yang sudah sepuh dan hanya ada beberapa orang saja yang juga menguasai tarian tersebut. Tidak menutup kemungkinan tarian khas Desa Bungko ini akan punah jika tidak ada generasi muda yang tertarik mempelajari dan melestarikannya. Diungkapkan pemerintah Cirebon, bahwa mencari penerus penari Bungko sangatlah sulit sebab semua penari merupakan nelayan. Kesempatan untuk mengajari anak dan cucu tarian khas ini pun terbentur oleh jadwal nelayan yang melaut sepanjang hari. Kondisi perekonomian yang terjepit tengkulak membuat nasib nelayan dan penari Bungko sama susahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.