Nilai Sejarah Museum Fatahillah

Selama ini yang kita ketahui museum dikenal sebagai tempat untuk memajang barang – barang bernilai sejarah. Berkunjung ke museum pun cenderung membosankan dan dilakukan oleh pihak sekolah ketika mengadakan liburan bersama. Namun, apakah sebuah museum memang memiliki arti dengan batasan yang pendek tersebut? Ternyata, tidak semua museum hanya berfungsi sebagai tempat untuk melihat benda-benda bersejarah saja. Namun, apabila ditelisik lebih dalam maka Kita akan menemukan nilai lebih dari bangunan museum tersebut. Berdirinya sebuah museum beberapa kota menempatkannya di sebuah gedung tua, yang tentunya memiliki nilai sejarah. Seperti halnya sejarah yang tercoret di bangunan salah satu museum di Jakarta, tepatnya di Kota Tua, yakni Museum Fatahillah. Bangunan megah bergaya arsitektur bangsa Belanda pada abad ke-17 tersebut merupakan landmark kawasan Kota Tua Jakarta. Selain menjadi tempat Kita bisa melihat benda bersejarah, ternyata bangunan museum itu sendiri juga memiliki sejarah panjang. Awal Mula Berdirinya Museum Fatahillah Bangunan atau gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah, didirikan pada abad ke-17 sampai abad ke-19. Pada masa tersebut bangsa Indonesia tengah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Didirikan pertama kali dengan tujuan membangun gedung sebagai pusat kegiatan rakyat atau Balai Kota pada masa tersebut. Menurut catatan sejarah, rakyat setiap sore hari mulai membentuk antrian untuk mengambil air di halaman gedung tersebut. Sebab hanya mata air yang terletak di halaman Balai Kota menghasilkan air. Selain aktifitas rakyat mengantri air bersih, fungsi dari gedung Balai Kota ternyata masih beragam, salah satunya sebagai lokasi pembunuhan massal. Rakyat yang dianggap dan terbukti sebagai pemberontak pemerintahan Belanda, dieksekusi di depan rakyat di halaman Balai Kota tersebut. Ada sebuah catatan sejarah yang membuktikan bahwa bangunan Balai Kota menjadi saksi atas sistem pemerintahan yang brutal. Pada saat jabatan Gubernur dipegang oleh Adriaan Valckenier, yakni pada tahun 1940, ia memerintahkan semua etnis Tionghoa dibantai di depan Balai Kota. Semua orang dari etnis Tionghoa pada masa tersebut diikat di depan halaman, kemudian sang Gubernur melihat dan memberikan perintah dari atas gedung. Lewat jendela, Gubernur memberikan aba-aba kepada algojo untuk melakukan pembantaian massal tersebut. Peristiwa pembantaian ini kemudian dicatat dalam sejarah dan disebut sebagai “Geger Pacinan”. Menurut Adji, yakni seorang pemandu Jakarta Food Adventure mengungkapkan latar belakang pembantaian tersebut. Kabarnya pasa masa tersebut, di Batavia (nama Jakarta masa VOC) terjadi isu ekonomi dan politik. Peristiwa pembantaian tersebut ternyata mendapatkan kecaman dari pemerintah di Belanda, sehingga Gubernur diminta pulang ke Belanda dan dieksekusi mati oleh pemerintahannya sendiri. Selain menjadi saksi atas peristiwa pembantaian, gedung Balai Kota ini juga menjadi saksi atas tindak kekerasan pada para tahanan. Ada banyak pahlawan nasional yang pernah ditahan disini, sebut saja Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, ada pula kisah tentang Pieter Elberveld. Elberveld mati dengan cara yang kejam, menurut sejarah tangannya dan rekan-rekannya diikat dengan tali tambang pada sebuah kuda pilihan. Kuda-kuda tersebut disuruh mengitari halaman Balai Kota selama beberapa kali. Akhirnya Elberveld dan rekan-rekan mati karena tubuhnya terkoyak, dan menjadi latar belakang berdirinya Monumen Pecah Kulit. Meski menyimpan catatan sejarah panjang dan sebagian besarnya merupakan sejarah kelam, namun keberadaan Museum Fatahillah kini menjadi tujuan wisata. Sejarah kelamnya kini bisa diketahui sembari melihat kemegahan gedung berarsitektur neo klasik tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.